Senin, 15 Desember 2008

Ki Sunda dan Mahasiswa

NADA minor terhadap menurunnya pemakaian bahasa daerah terus didengungkan dari waktu ke waktu. Generasi muda kerap ditunjuk sebagai pihak yang paling enggan atau gengsi menggunakannya dalam keseharian.

Kongres bahasa-bahasa daerah di Bandar Lampung baru-baru ini, kembali menyingkap nada minor serupa. Kabarnya, 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah. Bahkan, kini hanya tersisa 13 bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur di atas 1 juta orang. Itu pun didominasi generasi tua.

Di tingkat dunia, dalam catatan UNESCO, satu abad lalu ada sekitar 6.000 bahasa ibu. Namun, kini diperkirakan telah menyusut hampir separuhnya. Berkaitan dengan kekhawatiran pada kelangsungan bahasa-bahasa di seluruh dunia itu, UNESCO pun sampai merasa perlu mencanangkan satu hari dalam setahun sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional sejak 1999, setiap 21 Februari.

Kesimpulan dari satu kongres bahasa ke seminar bahasa lainnya boleh jadi hampir mirip, yakni, banyak bahasa daerah terancam punah. Dalam konteks Jawa Barat, bahasa Sunda pun termasuk bahasa yang amat dicemaskan kematiannya. Meski jumlah penuturnya masih berada di level aman, wacana tentang bahasa Sunda yang seolah antre menuju kuburannya tak putus-putus menggelinding.

Kepunahan bahasa daerah sering dikaitkan dengan generasi muda masa kini yang lebih suka memakai bahasa asing dan bahasa nasional, daripada bahasa daerah di dalam kesehariannya. Bahkan, ada yang memandang, fenomena ini terjadi lantaran anak muda menganggap bahasa daerah itu "kurang elite" atau identik dengan kaum marginal (masyarakat kelas bawah). Sebenarnya bagaimana?

Menurut Apipudin dari Daya Mahasiswa Sunda (Damas), kecenderungan anak muda yang kurang akrab dengan bahasa daerah, harus dilihat latar belakangnya. Sekarang ini adalah masa ketika arus globalisasi begitu deras. Bukan hanya bahasa daerah, bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai sarana komunikasi resmi pun tergilas. Coba saja telusuri billboards di jalan besar atau judul-judul film Indonesia di bioskop, yang bertaburan bahasa asing. Kita kehilangan keindonesiaan di ruang publik kita sendiri.

Anak muda masa kini malas menggunakan bahasa Sunda, menurut Apipudin, salah satunya disebabkan mereka takut melanggar undak usuk. Undak usuk ini konon terpengaruh kolonialisme Jawa saat kekuasaan Kerajaan Mataram sehingga bahasa Sunda terbagi menjadi beberapa tingkatan, lemes, sedeng, dan kasar. Padahal, bahasa Sunda aslinya cenderung egaliter, dan undak usuk tidak lebih penting dari bahasa Sunda itu sendiri. "Sebaiknya para orang tua mengerti kalau anak muda salah berbahasa Sunda, yang penting penyampaiannya sopan atau tidak," kata Apipudin pada Kampus.

**

GURU Besar FPBS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Chaedar Alwasilah, pernah menyebut dalam tulisannya Tujuh Ayat Kematian Bahasa ("PR", 17/02/2006), bahwa bahasa Sunda tidak akan punah bila para penuturnya aktif menggunakannya sebagai media tulis. Nah, soal media tulis, orang Sunda boleh bersenang hati sebab cukup banyak media massa berbahasa Sunda yang beredar. Dari mulai media cetak seperti Mangle, Cupumanik, Galura, Giwangkara, sampai media komunikasi dan interaksi orang Sunda di internet. Jika terus diberi sentuhan inovasi, bukan tak mungkin akan selalu memikat pembacanya, tak terkecuali kaum muda.

Dunia penerbitan buku dalam bahasa Sunda pun terbilang hidup. Yayasan Kebudayaan Rancage mencatat, pada tahun 2006 muncul 30 judul, naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 19 judul. Selain bahasa Jawa dan Bali, bahasa Sunda memang termasuk konsisten melahirkan karya tulis modern. Hadiah Sastra Rancage --penghargaan untuk karya sastra Sunda, Jawa, dan Bali-- juga masih rutin dikeluarkan sejak tahun 1988.

Sayangnya, tanggapan pasar terhadap literatur Sunda masih kurang responsif. Dalam pengamatan Deni Rachman dari Lawangbuku, distributor buku Sunda, tanggapan yang signifikan masih didominasi oleh buku humor Sunda. Sisi pengemasan dan promosi masih kurang.

"Misalnya, cover sebaiknya mengikuti tren atau dipaketkan bersama pin dan kaus. Peluncurannya juga bisa di mall, kafe, dsb., jangan mentok di toko buku dan ngundang orang tua lagi. Padahal, potensi pasar orang muda di daerah itu besar," ucap Deni, alumnus Farmasi Unpad 1998.

Deni yang mulai memasarkan buku Sunda sejak 2001 mengaku masih belum melihat rantai sinergi dalam membangun perbukuan Sunda. Penerbit dan penulis masih dengan idealisme mereka, namun kerap keteteran dalam distribusi.

Sementara itu, ada rupa-rupa cara yang dilakukan anak muda sebagai bentuk peduli kelanggengan budaya dan bahasa Sunda. Kegemaran Didin, alumnus Seni Rupa STSI tahun 2000, misalnya, bisa membantah anggapan bahwa kalangan muda kurang berminat terhadap bacaan Sunda. Didin adalah kolektor buku karya budayawan Sunda Ajip Rosidi--yang juga dikenal sebagai Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage. Koleksi Didin kini mencapai 140-an buku Ajip, termasuk yang langka. Ia berharap akan lebih banyak muncul Ajip-Ajip baru yang konsisten mengembangkan kebudayaan daerah.

Bagaimana dengan kiprah komunitas kesundaan di kampus? Adakah mereka memberi perhatian khusus pada dunia bahasa dan literasi Sunda? Sedikitnya bisa dibilang iya. Lingkung Seni Sunda (Lises) Unpad, misalnya, selain memberi perhatian pada kegiatan seni, mereka pun punya hari wajib berbahasa Sunda yaitu setiap hari Rabu. Himpunan Mahasiswa Pendidikan Basa jeung Sastra Sunda (Hima Pensatrada) UPI dengan 4 komunitasnya, yaitu teater Sambada, unit seni Lisenda, unit pecinta alam Pancak Suji, dan majalah Turus, pun masih aktif berjalan. Begitu pun dengan komunitas Tangara, Teater Pamass (Tepass), dan unit karawitan di Sastra Sunda Unpad, yang tengah bersiap untuk kompetisi Festival Drama Basa Sunda (FDBS) mendatang.

Antusiasme komunitas-komunitas kampus itu biasanya kerap terlihat pada ajang semacam FDBS di G.K. Rumentang Siang atau Festival Longser. Mereka berbondong-bondong datang dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Barat, dengan menyewa angkutan umum.

Kita tidak tahu apakah upaya mereka akan membantu memperkuat bahasa Sunda. Namun, langkah mereka bukannya tak patut mendapat apresiasi positif.

Dikatakan Apipudin, ia mencurigai tersuruknya bahasa Sunda sebenarnya terjadi di kota besar yang penuh kompleksitas dan akulturasi, seperti Bandung. Ia meyakini, di pelosok daerah bahasa Sunda masih dipakai oleh penduduk setempat. Jika tebakan itu benar, persoalannya kini, bagaimana melestarikan bahasa daerah di kota besar? "Paling efektif dimulai dari keluarga. Yang jelas, tong ngagugulung masalah wae. Nu penting ayeuna kumaha carana melakukan langkah nyata." **

DINGDING Haerudin, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah (Sunda) UPI, menuturkan, minat pada jurusan pendidikan bahasa Sunda trennya meningkat. Jika tahun 2005 ada 68 mahasiswa yang meregistrasi, tahun 2006 ada 105 mahasiswa, dan tahun 2007 ada 96 mahasiswa. Menurut Dingding, peluang kerja menjadi guru bahasa Sunda terbilang cerah sebab ada dukungan pemerintah, salah satunya menjadikan bahasa Sunda sebagai muatan lokal di tingkat SD-SMA lewat S.K. Gubernur Jawa Barat No 423.5/Kep.674-Disdik/2006 (turunan Perda No. 5/2003 tentang Pelestarian Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda).

Namun, kampus UPI masih belum mampu memenuhi kebutuhan guru bahasa Sunda di masa mendatang, terutama yang memiliki rasa katineung/idealisme kesundaan. "Tidak ada salahnya kalau jurusan bahasa Sunda dibuka lagi di kampus lain," kata Dingding.

Di Sastra Sunda Unpad, pada tahun 2007 ini, menerima 34 mahasiswa yang meregistrasi. Jumlah itu tergolong stabil dari tahun ke tahun. Mereka berencana membuka kelas khusus untuk orang-orang asing yang ingin mempelajari bahasa Indonesia dan Sunda pada 2011," kata Cece Sobarna, dosen Sastra Sunda Unpad.

Meski jumlah penutur bahasa Sunda di atas 20-an juta, wacana tentang kepunaham bahasa yang terus bergulir, menurut Cece, ada baiknya dianggap sebagai pengingat. Banyak bangsa lain yang iri dan terkagum-kagum terhadap kekayaan ragam bahasa bangsa kita, kenapa kita tidak mempertahankannya? Dikaitkan hakikat globalisasi yang seolah menyeragamkan dan meniadakan keberagaman, menurut Cece, harusnya kita tetap menyadari jati diri bangsa. Ia mengibaratkan globalisasi dengan simbol McDonald. "Masa kalau kita ke Paris, masih makan Mc’D juga. Begitu juga dengan bangsa asing, pasti mencari kekhasan kita, dan itulah yang seharusnya kita pertahankan," ucapnya. []



Pikiran Rakyat

dewi irma

kampus_pr@yahoo.com

Mahasiswa Gelar Kampanye Penggunaan Bahasa Sunda

Kamis, 21 Februari 2008


Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam kelompok mahasiswa yang tergabung dalam BEM HIMA Pendidikan Bahasa Sunda FPBS, UPI mulai pukul 12.30 (21/2), bertempat di depan Gedung Sate menggelar aksi unjuk rasa yang isinya memuat kampanye penggunaan Bahasa Sunda.

Mahasiswa, dalam orasinya yang diiringi dengan aksi teater menegaskan agar dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional tahun 2008, Bahasa Sunda betul-betul disosialisasikan kepada masyarakat.

Mahasiwa menilai, UNESCO pada tahun 1999, telah menetapkan setiap tanggal 21 Pebruari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Hal tersebut, dimaksudkan untuk mencegah punahnya bahasa-bahasa minoritas di seluruh dunia.

Bahasa Sunda sebagai salah satu bahasa ibu dengan jumlah pengguna terbanyak kedua di Indonesia, pada dasarnya termasuk ke dalam antrian bahasa minoritas yang terancam punah. Anggapan ini didasarkan pada fakta mengenai eksistensi Bahasa Sunda yang mulai mengkhawatirkan.

Bahasa Sunda, dibandingkan dengan Bahasa Nasional kurang tersosialisasikan kepada masyarakat. Orang Sunda, sekarang lebih banyak mengenal Bahasa Nasional ketimbang mengenal Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Hal tersebut disebabkan Bahasa Nasional lebih dominan dipergunakan hampir di semua bidang, sedangkan Bahasa Sunda nasibnya hanya menjadi bahasa kelas dua karena kurang difungsikan sebagaimana mestinya dalam kehidupan orang sunda.

Akibat keadaan tersebut, kini tidak mengherankan jika banyak muncul kasus penggunaan Bahasa Sunda yang jauh dari harapan. Penggunaannya, acapkali ada yang dicampur-baur dengan Bahasa Nasional. Hal lain yang mengkhatirkan adanya gejala rasa rendah diri di sebagian Orang Sunda ketika menggunakan Bahasa Sunda dalam berkomunikasi dengan masyarakat.

Adanya fakta-fakta tersebut, BEM HIMA Pensatrada UPI pada kesempatan Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional, menyatakan 3 pernyataan sikap. Pertama, menuntut kejelasan dan keseriusan pemerintah dalam merealisasikan dan mengimplementasikan amanat dan rekomendasi UNESCO tahun 1999, UUD 1945 pasal 32 (2) serta Perda Jabar Nomor 5 dan 6 Tahun 2003 untuk memelihara dan menghormati Bahasa Daerah, termasuk Bahasa Sunda.

Kedua, usaha menghormati dan memelihara Bahasa Sunda, tidak cukup hanya dengan kebijakan penetapan pengajaran Bahasa Sunda di tingkat SMA sederajat, tetapi harus didukung oleh kebijakan lainnya yang berkaitan dengan revitalisasi Budaya dan Bahasa Sunda. Adanya hal tersebut, perlu dilakukan perubahan regulasi di semua bidang terutama pada bidang-bidang yang bersentuhan langsung dengan kehidupan Orang Sunda agar lebih berpihak terhadap Budaya dan Bahasa Sunda.

Ketiga, Bahasa Indonesia adalah Bahasa Nasional. Bahasa merupakan sarana untuk mempersatukan semua suku yang ada di Indonesia. Namun, tidak semestinya Bahasa Nasional menggeser peran dan fungsi Bahasa Daerah.

jabarprov.go.id

Komunitas Sastra Sunda

Kelompok-kelompok sastra Sunda di Kota Bandung memang tidak begitu banyak jika dibanding dengan kelompok-kelompok atau sanggar-sanggar seni. Ini cukup beralasan, karena pekerja sastra lebih banyak bekerja secara individu, sedangkan seni musik atau seni tari dan lainnya membutuhkan kerja kolektif dalam membangun sebuah materi seni.

Kelompok-kelompok sastra yang ada terdiri atas para penulis serta peminat sastra. Kegiatan kelompok-kelompok tersebut di antaranya diskusi sastra dan budaya serta apresiasi sastra dan tulisannya ke media-media massa, baik lokal maupun ibukota.


DAFTAR LENGKAP

Jendela Seni
Jl. Sukapura No. 77 RT.01/02 Gg. Anggrek, Sukapura.
Kec. Kiaracondong

Kelompok Apresiasi Sastra TURUS
Jl. Dr. Setiabudi No. 219, Isola. Kec. Sukasari -
Hima Pensatrada UPI

Kelompok Sawelas
Jl. Blk. Faktory No. 2 A - Kantor Redaksi Galura

Kelompok Studi Budaya Rawayan
Jl. Tarate No. 11

Klub Pecinta Sastra
Jl. Dewi Sartika No. 21

Komunitas Girimukti
Jl. Karawitan No. 46, Buahbatu. Kec. Lengkong

Komunitas Dangiang
Jl. Naripan No. 7-9. Kec. Sumur Bandung

Paguyuban Pangrang Sastra Sunda (PP-SS)
Jl. Blk. Faktory No. 2 A - Kantor Redaksi Galura

Patrem
Jl. Suryalaya XII No. 10, Buahbatu. Kec. Regol

Peso Pangot
Jl. Buahbatu No. 212 - Kampus STISI. Kec. Margacinta

Sasana Pangarang Sunda
Jl. Dr. Setiabudi, Isola. Kec. Sukasari

Mengulangtahunkan Chye

Bumi Siliwangi, IPO-
Bertempat di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (PKM UPI) pada Jumat malam (2/12), Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Sunda (Hima Pensatrada) bekerjasama dengan BEM KM FPBS menyelenggarakan pentas seni dengan tema “Gelar Karya Chye Retty Isnendes”. Acara ini diadakan bertepatan dengan ulang tahun sastrawan Chye Retty Isnendes yang ke-33.

Acara dimulai bedah karya Chye, mulai dari cerpen, sajak dan drama. Hadir sebagai pembicara pelukis Tisna Sanjaya serta sastrawan sunda Duduh Durahman. Apresiasi penonton terhadap bedah karya ini terkesan kurang, terlihat dari minimnya pertanyaan dari audiens. Itupun, “tidak nyambung dengan topik,” ujar Duduh.

Perhatian malah lebih tertuju pada Tisna Sanjaya yang segera melukis setelah memberikan pendapat tentang karya Chye. Audiens segera melupakan bedah karya yang berlabgsung, bergegas mengerubuti Tisna dengan lukisannya.

Apa maksud Tisna membuat lukisan orang yang kemudian ditaburi parutan arang? “Peradaban, baik seni ataupun sastra saat ini telah terkikis,” jelas Tisna.

Selepas bedah sajak, acara disambung dengan pementasan musikalisasi puisi karya Chye yang dibawakan dengan sangat indah. Kelima puisi itu berjudul Bulan di Pamarican, Kidang Kawisaya, Tutudan Panglawungan, Pulitik di Bumi Putih dan Ngimpen Tepang.

Berakhir musikalisasi puisi, acara dilanjutkan dengan pembacaan sajak. Yang unik ketika salah satu pembaca menjatuhkan badannya ke lantai. Sontak atraksi ini membuat penonton bersorak sorai.

Sebagai kegiatan pamungkas yaitu lengser, semacam drama khas sunda. Diambil dari cerpennya Chye Retty Isnendes, Rumyang-rumyang Asih, yang naskahnya kemudian diadaptasi oleh Tarlan, mahasiswa Pensatrada yang aktif dalam kegiatan seni sunda. Lengser ini mengisahkan seorang pria yang mencoba selingkuh dan berusaha menyembunyikannnya, walaupun pada akhirnya terbongkar juga.

Acara yang dimulai pukul 20.00 WIB dan berakhir pada 23.00 WIB ini cukup sukses. Dari pengamatan IPO, Gedung PKM UPI yang bekapasitas 300 orang tampak penuh dan tidak ditinggalkan audiens sebelum acara usai. [Nazla]

Puluhan Naskah Kuno Akan Diterjemahkan

fauqa — Sun, 24/02/2008 - 14:39

DALAM rangka memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional 2008,
sejumlah mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Pendidikan Basa Jeung
Sastra Sunda (Hima Pensatrada) UPI melakukan aksi dengan membawa
spanduk dan poster di Jln. Merdeka Bandung, Kamis (21/2). BEM Hima
Pensatrada itu menuntut keseriusan pemerintah untuk memelihara dan
menghormati bahasa daerah termasuk bahasa Sunda sesuai dengan
rekomendasi Unesco.*


Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Disbudpar Jabar menganggarkan
dana Rp 600 juta untuk biaya penerjemahan 40 naskah kuno yang terbit
pada abad ke-7 sampai ke-19. Naskah tersebut belum pernah
diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda. Beberapa naskah tersebut
bercerita mengenai sejarah, kebudayaan, dan teknologi pertanian yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat.

"Dari 40 naskah kuno yang akan diterjemahkan, masih tersisa 80 naskah
kuno lebih yang kini tersimpan di Museum Sri Baduga Maharaja. Anggaran
tersebut tidak hanya digunakan untuk biaya penerjemahan, tetapi juga
untuk biaya penerbitan dan biaya-biaya lainnya yang berkaitan erat
dengan pemeriksaan silang data yang ada di naskah tersebut ke beberapa
museum dan perpustakaan yang ada di luar negeri, khususnya di Leiden
Belanda," ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa
Barat H.I. Budhyana, Kamis (21/2).

Budhyana yang ditemui di sela-sela acara "Mieling Poe Basa Indung"
(Memperingati Hari Bahasa Ibu) di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad Jln.
Dipati Ukur Bandung, mengatakan, bahasa Sunda menduduki posisi 33
dunia, sedangkan bahasa Cirebon di atas posisi 100 dari 330 bahasa
daerah di dunia. Budhyana berjanji akan menaikkan posisi bahasa Sunda
naik ke angka kurang dari 30, termasuk menaikkan posisi bahasa
Cirebon.

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan mengatakan, bahasa
adalah warisan terbesar yang yang diberikan leluhur yang berfungsi
sebagai identitas autentik suatu bangsa. Selain itu, bahasa merupakan
alat komunikasi yang efektif dalam proses transfer nilai-nilai serta
kearifan budaya. Sudah seharusnya setiap elemen masyarakat menyadari
betapa berharga dan pentingnya bahasa daerah.

Sejak tahun 1999 Unesco menetapkan tanggal 21 Februari sebagai hari
bahasa ibu internasional setelah ditemukannya fakta bahwa setiap
sepuluh hari terjadi kepunahan satu bahasa daerah di seluruh dunia.
Oleh karena itu, Danny sangat mengapresiasi kegiatan yang
diselenggarakan Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Paguyuban
Panglawungan Sastra Sunda serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
(Disbudpar) Jawa Barat ini.

Rektor Unpad Ganjar Kurnia mengatakan, saat ini kesadaran orang tua
untuk mengajarkan bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Sunda perlu
kembali ditingkatkan. "Banyak orang tua yang menganggap mendidik anak
dengan bahasa daerah itu berarti kampungan," ujarnya di sela-sela
Pasanggiri Ngeusian Tarucing Cakra.
Upacara Adat Penyambutan Wisudawan “Sunda”

Kategori: Suatu Hari | Diterbitkan pada: 26-10-2007 |

wisuda-kania-pujasari

Kania Pujasari (sisi kiri) dan tiga wisudawati Jurusan Pensatrada UPI Bandung

Wisuda gelombang II Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung telah berlangsung dengan mulus dan lepas. Ada keunikan dalam penyambutan wisudawan-wisudawati yang digelar oleh para mahasiswa UPI Bandung. Mungkin sebagai penghormatan atau penghargaan kepada kawan mahasiswa yang telah lebih dulu berhasil menuntaskan masa kuliahnya.

Seperti yang dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah (Pensatrada), Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS). Sekilas nampak seperti suasana di bandara. Ketika para wisudawan-wisudawati keluar dari Gedung Gymnasium, maka penyambutan dilakukan secara meriah. Para wisudawan-wisudawati diarak dengan berbagai kamonesan atau keunikan yang sangat kreatif. Terutama mahasiswa Pensatrada, sepanjang perjalanan menuju gedung FPBS tak henti diiringi alunan karawitan Sunda.

setibanya di depan gedung FPBS, langsung digelar upacara adat Sunda yang dikemas secara serius, diakhiri penyematan kalung bunga oleh Ketua Jurusan Pensatrada, Drs. Dingding Haerudin, M.Pd., kepada perwakilan wisudawan-wisudawati Pensatrada. Menurut Yanuar, ketua HIMA Pensatrada, acara seperti itu digelar secara rutin saban tahun. Sebelumnya, pada Malam rabu, digelar pula acara “Peuting Panineungan”, yang dimeriahkan oleh pergelaran kesenian bajidoran dari Subang. Pada tahun ini, nilai terbaik Jurusan Pensatrada diraih oleh Kania Pujasari, S.Pd., dengan jumlah IP 3,55.

Selamat buat Kania. Semoga ilmu yang telah dituntut di Pensatrada UPI Bandung, dapat diamalkan dengan ikhlas, sabar, dan selalu bersemangat.